Tangerang, KlikberitaTV.com – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan salah satu ajang penting bagi masyarakat Indonesia untuk menentukan pemimpin yang akan membawa arah pembangunan dan kesejahteraan di daerahnya. Dalam setiap ajang Pilkada, tersimpan banyak harapan dari rakyat agar pemimpin yang nanti terpilih dapat menjalankan amanahnya dengan jujur, adil, dan transparan. Namun, kenyataan di lapangan terkadang berbeda. Justru setiap kali ajang Pilkada tiba, dugaan praktik kecurangan, khususnya dalam bentuk politik uang, selalu bermunculan. Fenomena ini, yang terjadi hampir di setiap daerah di penjuru Indonesia, menjadi momok mengerikan bagi keberlangsungan demokrasi. Baru-baru ini, sebuah video viral yang menunjukkan dugaan praktik politik uang oleh salah satu calon Bupati Pandeglang, Raden Dewi Setiani. Meski belum terbukti benar atau salah, kejadian ini kembali menyoroti betapa rawannya proses demokrasi kita terhadap tindakan-tindakan yang mengarah pada manipulasi suara.
Politik uang merupakan tindakan yang merusak esensi dari sebuah pemilihan yang seharusnya bersih dan berdasarkan pilihan hati nurani. Ketika suara rakyat diperjual belikan, maka arah politik suatu daerah tidak lagi ditentukan oleh rakyat, melainkan oleh kepentingan pribadi calon dan pihak-pihak yang mendukungnya. Dalam video berdurasi 39 detik yang beredar di media sosial, tampak Raden Dewi membagikan uang pecahan Rp 50 ribu kepada sejumlah warga yang antri. Seiring dengan kejadian tersebut, terdengar suara seorang pria yang diduga mengajak warga untuk memilih Raden Dewi dalam kontestasi Pilkada Kabupaten Pandeglang 2024. Meskipun belum ada kepastian apakah tindakan ini merupakan pelanggaran hukum atau bukan, kejadian tersebut sangat perlu untuk dicermati karena mengindikasikan adanya praktik kecurangan berupa politik uang. Perlu diketahui bahwa praktik politik uang terjadi karena beberapa alasan mendasar.
Salah satunya adalah adanya anggapan dari sebagian masyarakat bahwa pemberian uang tunai oleh calon kepala daerah adalah hal yang lumrah dalam sebuah kampanye. Kesalahpahaman ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang hakikat pemilu yang bebas dari tekanan atau bahkan pengaruh material. Selain itu, sebagian masyarakat mungkin menganggap ajang Pilkada ini sebagai peluang singkat untuk mendapatkan keuntungan material. Hal ini diperparah dengan keterlibatan beberapa tokoh masyarakat atau pihak penyelenggara yang terkadang “memfasilitasi” praktik ini, sehingga masyarakat menganggap tindakan tersebut bukanlah sebuah pelanggaran ataupun kecurangan.
Di sisi lain, lemahnya pengawasan juga menjadi penyebab utama mengapa politik uang masih sering kali terjadi. Meski Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pihak berwenang lainnya telah berkomitmen untuk menindak setiap pelanggaran yang ada, pelaksanaan dan pengawasan sering kali kurang efektif dalam penerapan di lapangan. Dalam kasus Raden Dewi Setiani, Bawaslu Pandeglang menyatakan akan melakukan penelusuran untuk memastikan kebenaran dari video tersebut. Namun, proses ini kerap memakan waktu yang cukup lama dan dalam beberapa kasus, tidak ada sanksi yang tegas bagi pelaku politik uang. Ini memberikan kesan bahwa politik uang adalah hal yang bisa “diakali” dengan mudah dan tidak mendapatkan konsekuensi serius, sehingga mendorong calon-calon yang lain untuk melakukan hal sama demi memenangkan Pilkada.
Praktik politik uang memiliki dampak buruk yang sangat signifikan terhadap tatanan politik dan sosial di masyarakat. Ketika seorang calon terpilih melalui praktik politik uang, kemungkinan besar ia akan merasa “berhutang” kepada pihak-pihak yang mendukungnya secara finansial.
Akibatnya, kebijakan yang diambil lebih condong pada kepentingan pihak-pihak tersebut daripada untuk kesejahteraan masyarakat secara umum. Dalam jangka panjang, hal ini akan menciptakan siklus kepemimpinan yang tidak pro-rakyat dan mengabaikan aspek transparansi. Politik uang juga menurunkan standar demokrasi di mata masyarakat. Masyarakat yang terbiasa menerima “uang saku” dari calon akan beranggapan bahwa ajang pemilihan Pilkada atau bahkan Pemilu adalah transaksi bisnis, bukan ajang untuk menentukan pemimpin yang berkualitas.
Ketika suara diperjualbelikan, pemimpin yang terpilih bukanlah mereka yang memiliki visi dan misi terbaik ataupun berkompeten, melainkan mereka yang mampu membeli suara masyarakat. Tentu akibatnya, kualitas pemimpin daerah menjadi rendah dan berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat. Banyak calon kepala daerah yang akhirnya menganggap bahwa uang adalah satu-satunya cara efektif untuk memenangkan pemilu. Hal ini kemudian menciptakan lingkaran setan di mana politik uang menjadi budaya yang sulit dihilangkan hingga saat ini.
Bawaslu sebagai lembaga pengawas memiliki tanggung jawab besar dalam mengawal proses Pilkada agar berjalan dengan baik, jujur dan adil. Namun, tanpa dukungan dari masyarakat, tugas Bawaslu akan sangatlah berat. Masyarakat harus sadar bahwa politik uang bukanlah sebuah hal yang lumrah apalagi sebuah keuntungan, melainkan sebuah manipulasi dan kecurangan. Dengan menolak politik uang, masyarakat turut menjaga integritas demokrasi dan memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar pemimpin yang layak memajukan daerah yang dipimpinnya. Di samping itu, masyarakat juga harus berperan aktif dalam melaporkan setiap praktik politik uang yang mereka temui, karena tanpa laporan dari masyarakat, banyak praktik kecurangan yang akan luput dari perhatian.
Untuk memutus rantai politik uang, diperlukan pendekatan yang komprehensif dari berbagai pihak. Pemerintah, lembaga penyelenggara pemilu, dan masyarakat harus bersinergi untuk menekan praktik ini. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan sanksi bagi pelaku politik uang. Saat ini, sanksi bagi pelaku politik uang masih dianggap ringan oleh sebagian orang, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Oleh karena itu, diperlukan peraturan yang lebih ketat dan tegas untuk menghukum setiap bentuk pelanggaran politik uang, baik dari segi finansial maupun penahanan. Sanksi yang lebih tegas akan memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah serius dalam menindak politik uang. Selain sanksi yang tegas, pemerintah perlu meningkatkan literasi politik masyarakat. Program-program edukasi tentang pentingnya pemilu yang bersih harus digalakkan, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap praktik politik uang. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa suara mereka sangat berharga dan tidak seharusnya diperdagangkan. Dengan literasi politik yang baik, masyarakat akan lebih kritis dalam memilih calon dan tidak mudah terpengaruh oleh politik uang.
Kasus dugaan politik uang yang melibatkan Raden Dewi Setiani merupakan refleksi dari tantangan yang dihadapi oleh sistem demokrasi di Indonesia. Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa politik uang masih menjadi musuh besar Indonesia dalam perwujudan demokrasi yang sejati. Meskipun Bawaslu telah berjanji untuk menelusuri kasus ini, kita tidak boleh hanya mengandalkan institusi tersebut. Diperlukan kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat untuk menciptakan Pilkada yang jujur dan adil. Dengan menolak politik uang, masyarakat Indonesia bisa berperan aktif dalam menjaga demokrasi dan memastikan pemimpin yang terpilih adalah yang benar-benar berintegritas.
Pada akhirnya, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk melindungi nilai-nilai demokrasi dari ancaman kecurangan. Demokrasi bukan hanya tentang siapa yang terpilih, tetapi juga tentang bagaimana proses pemilihannya. Jika proses Pilkada sudah tercederai oleh politik uang, maka hasil dari pemilu itu pun patut dipertanyakan. Menjadi tugas bersama untuk memastikan bahwa demokrasi di Indonesia tetap berjalan dengan sehat dan terbebas dari praktik kecurangan, demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Penulis : Rafif Anggaraksa Rusvi
( Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Kom, FISIP Untirta )