Tangerang, KlikberitaTV.com- Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri dalam suatu pesta demokrasi yang dikenal sebagai pemilu. Namun demikian, hasil pemilu ini masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya keresahan masyarakat terhadap para pemimpin, baik melalui tulisan di media sosial maupun demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat.
Tak sedikit dari keluhan yang di suarakan oleh para demonstran adalah mengenai politik oligarki yang mulai mengakar di Indonesia. Oligarki sendiri merupakan diksi yang berasal dari bahasa yunani “Oligharkia”. Secara bahasa, oligarki merupakan gabungan 2 kata, oligos yang berarti sedikit dan arkho yang berarti mengatur atau memerintah. Jika 2 makna ini digabungkan, maka dapat disimpulkan menjadi “kekuasaan yang berada di tangan segelintir orang”.

Oligarki bukanlah bahasa yang tabu di dengar di Indonesia. Dalam sejumlah aksi demontrasi oligarki menjadi kalimat seruan kemarahan yang di lantunkan untuk pemerintah. Titi Anggraini, anggota dewan pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan bahwa empat faktor menyebabkan munculnya oligarki di Indonesia: tata kelola partai politik yang tidak demokratis, regulasi, penegakan hukum yang lemah, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa penyebabnya
Termasuk faktor internal dan eksternal. Dalam sistem politik demokrasi, pencalonan pemimpin dapat diusung oleh partai yang memiliki kekuatan politik yang lebih besar. Namun, pemilihan calon dari partai sendiri tidak selalu terbuka, dan seringkali kader partai menggunakan hubungan keluarga atau kerabat untuk maju dalam pemilu atau pilkada.
Objektivitas regulasi saat ini masih dipertanyakan. terutama karena pikada dan pemilu 2024 yang akan datang. Polemik politik semakin memanas karena peraturan pencalonan tampak mudah berubah. Regulasi ini sebenarnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan segelintir golongan. mulai dari MK mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden hingga DPR yang mengubah keputusan MK tentang batas usia calon kepala daerah.
Kepercayaan masyarakat semakin menipis sebagai akibat dari kelabilan para penegak hukum ini. Rakyat mulai berpikir bahwa pemilihan umum, yang seharusnya merupakan simbol demokrasi, tampaknya tidak lagi menjadi peristiwa sakral karena peraturannya dapat diubah. Ini ditunjukkan oleh berbagai demonstrasi, mulai dari menentang keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden hingga saat DPR mengebut peraturan pemilihan daerah tentang umur yang dapat menganulir keputusan tersebut.
Selain alasan tersebut, masyarakat Indonesia juga belum bisa disebut cerdas sepenuhnya karena di ibu pertiwi masih lestari politik transaksional dimana suara mereka di beli oleh antek-antek gelap partai politik di tukar dengan uang ataupun sembako. Padahal, pemimpin yang mereka pilih akan turut serta mempengaruhi kehidupan mereka beberapa tahun kedepan. Sayangnya fenomena di Indonesia masih banyak rakyat yang merasa bahwa “Siapapun pimpinannya sama saja” yang di akibatkan dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap para pimpinan sebelumnya.
Perpanjangan masa jabatan presiden, yang tampaknya dimaksudkan untuk mempertahankan kepentingan segelintir orang dan mengabaikan pendapat publik, menunjukkan politik oligarki di tahun 2024. Ditambah lagi, kecurigaan publik semakin meningkat karena DPR RI secara sepihak memecat hakim MK.
Politik oligarki juga tak hanya mengenai pemilihan umum yang dilakukan namun juga penegambilan keputusan yang berantakan tak berkiblat pada kepentingan rakyat. Di tambah lagi, pemerintahan era ini tidak memiliki banyak oposisi, maka para birokrat seakan akan bergotong royong menuntaskan kepentingan bersamanya yang tak sedikit justru mencekik rakyatnya seperti dalam polemik RKUHP, UU Cipta Kerja, juga pelemahan KPK .
Segala kasus yang menunjukan kekuatan atas kepentingan segelintir elit membuat rakyat semakin takut hidup di Negaranya sendiri dimana jabatan dan kekayaaan menjadi patokan keamanan. Hal ini terlihat dari kasus Ferdi Sambo yang sukar sekali dalam penyelesaiiannya, namun menjadi pintu pembuka atas kasus yang banyak di tutupi terkait kekerasan aparat dan pelanggaran yang di lakukan oleh para pejabat yang berada di jajaran atas.
Dalam konteks kepemimpinan Jokowi, termasuk Gibran, oligarki dapat digambarkan sebagai fenomena di mana sekelompok kecil orang atau keluarga memiliki kontrol yang sangat besar atas kebijakan dan ekonomi negara. Sejak menjabat sebagai presiden, Jokowi telah menjalin hubungan dengan banyak tokoh bisnis dan politik.
Meskipun hubungan ini dapat dianggap sebagai sarana yang kuat untuk mendukung pembangunan, ia juga menimbulkan pertanyaan tentang seberapa banyak keputusan yang dibuat hanya untuk kepentingan publik daripada kepentingan kelompok tertentu. Fokus pada pembangunan infrastruktur adalah bagian penting dari kepemimpinan Jokowi. Pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan telah membantu meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas. Namun, seringkali proyek tersebut melibatkan kontraktor dan perusahaan yang sama, yang dapat menyebabkan keuntungan bisnis mengungguli kepentingan oligarki daripada kepentingan umum. Ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Sebagai anak dari Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menghadapi masalah yang sama saat menjadi Wali Kota Solo. Walaupun kepemimpinannya membawa semangat baru dan inovasi, label “anak presiden” dapat membatasi pandangan dan menciptakan ekspektasi bahwa ia akan mengikuti oligarki yang sudah ada. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah Gibran akan berusaha memperbaiki sistem yang telah berjalan dengan mengutamakan transparansi dan kejujuran atau akan mempertahankan jaringan yang ada untuk stabilitas?
Sangat penting untuk diingat bahwa generasi muda, termasuk Gibran, memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Dengan latar belakang dan pengalamannya, Gibran dapat menjadi suara yang mendorong perubahan dalam tata kelola pemerintahan, tetapi itu memerlukan keberanian untuk berhadapan dengan kekuatan yang ada. Dalam hal ini, Gibran dapat menggunakan posisinya untuk menjembatani antara masyarakat dan kekuasaan, sehingga kebijakan yang dibuat lebih merata dan representatif.
Menurut pendapat saya, kepemimpinan Jokowi dan kemungkinan peralihan ke Gibran adalah masalah khusus. Meskipun ada kemajuan di beberapa bidang, keduanya harus menyadari bahwa oligarki dapat menghalangi kemajuan sosial dan ekonomi yang adil. Jika Gibran ingin dikenal sebagai pemimpin yang berbeda, ia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menunjukkan integritas dan komitmennya terhadap kesejahteraan rakyat, bukan hanya bagi segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan. Dengan cara ini, ia memiliki kemampuan untuk menciptakan fondasi yang kuat untuk masa depan politik yang lebih adil dan terbuka di Indonesia.
Selama bertahun-tahun, oligarki telah menjadi masalah yang menghambat demokrasi dan pemerataan kesejahteraan di Indonesia. Kepentingan publik sering terabaikan ketika sekelompok kecil orang atau keluarga memegang kekuasaan politik dan ekonomi.
Untuk menyelesaikan masalah ini, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah meningkatkan sistem transparansi dalam pemerintahan dan bisnis. Ini akan melibatkan pengawasan yang lebih ketat terhadap pendanaan politik dan pembatasan praktik politik uang yang sering menjadi cara oligarki untuk menguatkan diri mereka sendiri. Selain itu, peraturan tentang kepemilikan perusahaan besar dan media harus diperbarui untuk mencegah dominasi satu pihak terhadap pasar atau informasi, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kebijakan publik.
Melalui pendidikan politik yang lebih baik dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, masyarakat juga harus diberdayakan untuk lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah. Langkah-langkah ini dapat menekan oligarki dan memungkinkan negara untuk berkonsentrasi pada kepentingan umum, bukan hanya kelompok elit.
Penulis : Andhita Regina
( Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)