Tangerang, Klikberitatv. Com—Cuaca ekstrem yang kian mengancam kawasan perkotaan membuat Wakil Ketua DPRD Kota Tangerang, Andri S Permana, bersikap. Ia mendesak Pemerintah Kota Tangerang dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) segera merampungkan Kajian Risiko Bencana dan menggelar apel siaga bencana sebagai fondasi sistem ketahanan kota yang modern dan berbasis sains.
Ditemui pada Selasa, (2/12/ 2025), Andri lebih dulu menyampaikan duka atas bencana yang terjadi di sejumlah wilayah Sumatera. Tragedi itu, katanya, harus menjadi peringatan bagi pemerintah daerah untuk belajar dari kejadian serupa dan merespons surat edaran Kementerian Dalam Negeri terkait penguatan penanggulangan bencana.
“Pemerintah daerah harus segera memenuhi kebutuhan utama mitigasi bencana. Yang paling krusial adalah kajian risiko bencana. Di situ ada blueprint, ada peta jalan, ada rencana penanggulangan bencana hingga rencana kedaruratan. Itu wajib segera disusun,” ujarnya. “Kita tidak bisa lagi beroperasi dengan pola lama. Kota harus punya data, punya skenario, punya way out yang jelas. Kajian risiko itu fondasinya,” kata Andri.
Ia menilai BPBD dan Pemkot harus bergerak melampaui rutinitas seremonial tahunan. Kota Tangerang, menurutnya, membutuhkan perencanaan yang memetakan ancaman 5–10 tahun ke depan: banjir ekstrem, gelombang panas, potensi runtuhnya infrastruktur tua, hingga dampak perubahan tata ruang.
Tiga dokumen pengendali risiko harus segera dirampungkan: Kajian Risiko Bencana berbasis data spasial dan proyeksi iklim, Rencana Penanggulangan Bencana lintas sektor, dan Rencana Penanggulangan Kedaruratan yang mengatur jam-jam kritis.
“Rencana kedaruratan itu jantungnya. Di sinilah dipastikan siapa melakukan apa pada menit pertama bencana. Ini bukan formalitas,” tutur Andri.
Ia menekankan mitigasi modern mustahil dibangun oleh pemerintah saja. Karena itu, ia mendorong pendekatan pentahelix—melibatkan relawan dan organisasi kemanusiaan, PMI, Pramuka, komunitas tanggap bencana, akademisi sebagai produsen data, dunia usaha untuk logistik dan teknologi, serta media sebagai pembentuk kewaspadaan publik. “Kontingensi bencana harus jadi ruang kolaborasi. Pemerintah hanya salah satu aktor, bukan satu-satunya. Kota modern dibangun oleh ekosistem, bukan birokrasi tunggal,” katanya.
Andri juga meminta Pemkot segera menggelar apel siaga bencana. Tapi ia menegaskan apel itu harus menjadi uji sistem, bukan seremoni. “Kita cek semua: perahu karet, pompa portabel, alat komunikasi, protokol evakuasi, hingga kesiapan SDM. Jangan tunggu sirine berbunyi baru sadar apa yang belum siap,” ujarnya.
Bagi Andri, ketahanan kota tidak hanya bergantung pada regulasi dan data, tetapi pada budaya kolektif pemerintah dan warganya. Ia mendorong pembentukan ekosistem mitigasi yang meliputi:
1. Perilaku hidup bersih sebagai budaya urban permanen, bukan sekadar kampanye.
2. Gerakan menanam pohon sebagai kontrak ekologis antargenerasi.
3. Penguatan bank sampah sebagai ekonomi sirkular berbasis komunitas.
4. Instruksi tegas kepada RT/RW untuk merevitalisasi gotong royong normalisasi selokan.
“Kerja bakti itu teknologi sosial paling efektif dan paling murah melawan banjir perkotaan,” ujarnya. Jika saluran bersih, ekosistem hijau berjalan, dan ekonomi sirkular terbentuk, ia yakin risiko banjir dapat ditekan jauh sebelum hujan pertama turun. “Kota tangguh selalu dimulai dari warganya, bukan dari proyek infrastruktur,” tegasnya.
Di tengah meningkatnya ancaman iklim, Andri mengingatkan bahwa Kota Tangerang harus berani beralih dari pola reaktif ke pola prediktif. “Kita tidak bicara kemungkinan, tapi kesiapan. Setiap komponen harus siap, setiap skenario harus disepakati, dan setiap warga harus tahu perannya. Kota yang menunggu akan selalu terlambat,” pungkasnya. (rls/red)







